Sabtu, 13 Juni 2015

Sebuah pendapat lain, mengenai Setengah Isi dan Setengah Kosong.



" Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak - An Nisa : 19"

13 Juni 2015.

Dua hari setelah pergantian umur itu saya lewati. Itu juga berarti kembalinya jati diri yang selalu saya inginkan kembali sedari dulu. Menjadi pribadi yang sekarang itu -pun bukan hal yang mudah. Saya melakukan berbagai perjalanan yang tentu saja memakan waktu.

Dua puluh tahun sudah berlalu bagi saya menjalani kehidupan. Tentu ini bukan waktu yang lama. 

Berkaitan dengan tulisan saya sebelumnya. Jatah hidup yang tersisa ini mau dibawa kemana? Saya hanya dapat memimpikan nantinya ada hal-hal baru dihidup saya. Tak usahlah saya menoreh cerita itu atau mengumbarnya disini. Karena rasa kecewa akan pengharapan yang tidak tercapai itu sudah pernah saya alami. Seperti masa SNMPTN kemarin yang tentu saja Allah menorehkan takdir untuk tidak bisa melanjutkan studi saya di Universitas Indonesia.

It's OK. Karena apapun itu, saya hanya dapat mengikuti skenario Tuhan. Tapi apadaya, rasa kecewa itu masih ada. Mungkin Tuhan punya rencana lain. Saya tidak berani lagi untuk mengumbar mimpi saya kepada khalayak. Apa pencapaian saya kedepan, hanya saya dan Tuhan yang tahu. Janganlah membenci apa yang kita miliki sekarang, karena tentu Tuhan telah menorehkan kebaikan atas apa yang kita miliki. Jangan lupa sedekahnya.

Membaca sebuah buku tentu rutinitas saya pada saat ini mengingat jadawal sekarang adalah liburan. Teringat bagi saya ketika Diklat Organisasi UKFF kemarin saya dihadiahkan sebuah buku yang bermanfaat dari salah seorang dewan pendiri UKFF. Buku itu berjudul "Berbekal setengah isi, setengah kosong" karangan Dr. Syafiq. Syafiq dalam bukunya mengatakan bahwa ada perumpamaan bagaimana kita memandang hidup ini. Perumpamaan itu seperti ini;

"Apa yang akan kamu katakan ketika melihat gelas setengah berisi? Sebagian orang akan mengatakan bahwa gelas ini setengah kosong dan yang lainnya mengatakan bahwa setengah gelas ini berisi." 

Maka mari kita tarik benang merahnya. Syafiq berpendapat dalam buku ini bahwa memandang gelas tersebut dan mengambil intisari bahwa gelas tersebut setengah kosong, itu menandakan bahwa kamu adalah orang yang pesimis. Melihat hanya pada sisi negatifnya. Dan memandang bahwa gelas tersebut setengah berisi menandakan bahwa kamu adalah orang yang optimis. 

Nah disini mari kita merubah konsep.

Bagaimana kalau gelas yang setengah -berisi atau kosong- tadi kita analogikan sebagai wadah pahala kita. Lalu apa yang akan kamu katakan? Setengah berisi atau setengah kosong? Bagaimana kita memandang? Setengah kosongkah yang tentunya akan memompa kita untuk memenuhi wadah tersebut, atau setengah berisi yang sering membuat kita berkata "ah sudah cukup untuk saya mencium wanginya surga". Yang mana akan kamu pikirkan? Tentu analogi ini tidak sama dengan analogi yang dijelaskan Syafiq dalam bukunya. Pendapat tiap orang tentu berbeda bukan?

Lalu bagaimana kita memandang hidup searah dengan analogi yang kita bahas tadi, kita anggap gelas tersebut setengah kosong dan kita akan terus berusaha untuk mengisinya dengan hal-hal yang baik. Itu lebih baik bukan ketimbang kita memandang gelas itu setengah berisi lantas kita melalaikan tugas dan kewajiban kita untuk mengisi bagian yang kosong. Nah mari kita perbaiki lagi bagaimana kita memandang, pola pikir kita akan sesuatu. Ah bukan memaksa, hanya mengajak.

"Menulis adalah cara yang paling ampuh untuk menolak lupa"

Padang. 13 Juni 2015.

Muhammad Hanif


Jumat, 12 Juni 2015

Hidup Sekali, berarti, lalu mati.



"Seseorang tertawa senang bahagia ketika beranjak dewasa ketika umurnya bertambah. Dan seseorang lainnya menangis ketika mengetahui jatah hidupnya berkurang."

Masalah umur memang menjadi misteri yang sampai sekarang belum terkuakkan secara ilmiah. Bagaimana seseorang akan meninggal, atau bagaimana seseorang menjalani hidupnya, atau bahkan bagaimana masa depan, tidak seorangpun ahli nujum atau ahli science yang bisa memprediksinya.

Sejatinya umur itu adalah pemberian Tuhan kepada manusia untuk menikmati hidup. Bertambahnya umur berarti berkurangnya jatah hidup. Eits, tunggu sebentar. Jangan langsung bersedih. Bertambah umur juga merupakan sebuah moment bahagia kok. Bisa kita lihat di luar sana bukan? Bagaimana bahagianya seseorang ketika dia menambah angka-angka umurnya. Itu terlihat ketika mereka menghabiskan makan malam mereka dengan orang yang tercinta atau sekadar bersenda gurau menikmati pergantian sore ke malam bersama teman-teman yang mereka hormati.
Begitu, sejatinya ya setiap orang memiliki pandangan yang berbeda tentang bertambahnya umur. Tapi yang harus dipertanyakan, umur yang kamu pegang selama ini, sudah dibawa kemana saja?

Nabi Muhammad dalam masa kecilnya sudah menjadi seorang penggembala sapi yang dipercaya oleh majikannya, remajanya dihabiskan dengan berdagang dan akhirnya ketika dewasa menikah dengan seorang wanita kaya bernama Siti Khadijah. Lalu, kamu selama ini kemana saja? Adakah umur yang diberikan Tuhan itu kamu manfaatkan dalam hal yang benar?

Bukan bermaksud nge-judge kamu-kamu, tapi ini bermaksud menyadarkan dan juga untuk pembelajaran pula bagi penulis. Apakah dalam jatah umur yang kamu nikmati selama ini hanya diisi dalam kesia-siaan belaka yang hingga sekarang membuatmu tidak sadar? Apakah dalam jatah umur yang kamu nikmati selama ini diisi dengan hal-hal yang bermanfaat hingga semua orang senang jika kamu ada bersama mereka?

Mari kita pikirkan kembali. Ahmad Rifa'i Rif'an dalam bukunya "Hidup sekali, berarti, lalu mati" mengajak kita untuk memikirkan untuk apa kita hidup di dunia. Jika hanya untuk makan, binatang juga makan. Jika hanya untuk bekerja, kerapun bekerja. Lalu untuk apa?

"Tidaklah kuciptakan Jin dan Manusia selain untuk beribadah kepadaKu" - Adz Dzariat :56

Maka dalam sepenggal ayat di atas telah jelas bahwa sejatinya hidup manusia, atau yang seperti dikatakan di atas adalah jatah hidup manusia harus diisi dengan ibadah. Ibadah. Makan dengan mengucap do'a sebelumdan sesudah makan, itu termasuk ibadah. Bekerja dengan mengucap Bismillah sebelumnya termasuk ibadah. Tidur pada waktunya dengan melafas do'a sebelum tidur dan mengawali hari dengan membuka mata seraya berdo'a sebangun tidur adalah termasuk ibadah. Belajar juga termasuk ibadah. Maka apapun yang kita lakukan asal diniatkan Lillahi Ta'ala sejatinya merupakan ibadah.

Trus, beribadah itu mudah dong? Yap, benar. Beribadah itu mudah banget, tapi yang susah itu menjaga kadar ibadahnya dan menjauh pula dari dosa. Dosa besar, tentu sudah ada batasan hingga kita sering terjauh dari dosa besar. Tapi yang lebih berbahaya lagi adalah dosa-dosa kecil. Seperti Riya'.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunujuk kepada orang-orang kafir". [al Baqarah : 264].

Maka jelas bukan? Dosa kecil sekaliber Riya' saja dapat merusak ibadah yang kita lakukan. Apalagi dosa besar.

Ada sebuah kisah dahulu, dimana seseorang hamba sholeh dihadapkan pada seorang pelacur. Sang pelacur memberikan 3 pilihan berbuat dosa. Yakninya berzina, membunuh, atau minum Khamr. Sang sholeh berfikir dengan keras dan menjatuhkan pilihan atas pilihan ketiga karena dia berfikir minum Khamr dosanya kecil. Lalu apa yang terjadi? Sang sholeh malah mabuk dan akhirnya berzina dengan si pelacur. Tiba-tiba ada seorang anak kecil yang melihat perilaku si sholeh, karena ketakutan akan si anak kecil yang akan membeberkan kelakuannya, si anak tersebut lalu di bunuh. Sepele bukan? Hanya dengan minum Khamr, 3 dosa terlakukan.

Dan ada pula kisah tentang seorang buas yang akhirnya jatuh hati pada indahnya lantun Al-Qur'an dan hingga kini kisah hidupnya dikenang sebagai seorang khalifah yang baik hati, tegas, dan bertanggung jawab. Beliaulah yang sering kita kenal dengan nama Umar bin Khatab. Seorang buas yang selama hidupnya dia tidak mengetahui akan jatuh hati pada lantun Al-Qur'an dan menjadikan Islam sebagai agamanya serta meninggal dalam keadaan Husnul Khatimah.

Lalu kembali pada topik utama tadi, untuk apa kita hidup? Jawabannya untuk ibadah, pasti banyak hal lain. Yang penting jauhi saja dosa, jangan sekali-kali terlintas dalam pikiran hendak melakukan dosa. "Hidup ini sekali, berarti, lalu mati" tinggal kita yang memikirkan selepas mati nanti mau meninggalkan apa. "Gajah mati meninggalkan gading dan harimau mati meninggalkan taring." Kamu mau menjadi apa, pilihan ada di tanganmu. Maka dalam sisa hidup yang sebentar, siasatilah kamu mau menjadi apa?

Padang. 12 Juni 2015. 

Muhammad Hanif

note : Tulisan selamat ulang tahun penulis terhadap diri sendiri. 20 tahun itu bukan waktu yang sebentar. Dan artinya, hidupmu telah berkurang.