Senin, 09 Februari 2015

[Viandante] Marapi.Mt +2891 mdpl


Foto Bedi Septia Candra


Awal semester ini merupakan awal yang menurut sayaawal yang "lumayan". Pertemuan dengan beberapa dosen di beberapa mata kuliah selalu saja berhadiahkan tugas yang harus dikumpulkan pada minggu berikutnya. Ah, rasanya ingin kembali libur. Tapi, ini baru awal semester empat yang katanya berisikan hal-hal imajinatif. Bah.

Namun, di samping ke-ruwetan tugas, jum'at (6/2) saya mendapatkan tawaran mendadak dari temen kamar sebelah. Ah, ini adalah impian. Ngedaki gunung Marapi, atap dari Sumatera Barat.

Perjalanan dimulai sekitar pukul 23.20 WIB. Bermulai dari rumah kos yang sederhana di salah satu komplek kos Air Tawar Barat. Bah, cukup dingin. Dengan persediaan
yang pas-pasan dan dengan modal nekat mendadak, kami mulai berkendara kencang menuju Padang Panjang.

Rasanya perjalanan yang singkat menuju Padang Panjang merupakan perjalanan paling cepat yang pernah saya tempuh. 

Kami -8 orang pendaki, 7 amatir, 1 profesional- tiba di lokasi awal pendakian yaitu Posko Pasanggrahan pada pukul 01.00 WIB dinihari, Sabtu (7/2). Ya, cuaca saat itu sangat dingin dan lokasi ini super ramai dengan para pendaki yang sudah sedari tadi siang mendatangi lokasi ini guna melakukan pendakian. Bayangkan saja kami tidak mendapat lahan parkir saking ramainya. Buset!! Hahah tapi karena alasan niat, akhirnya kami bisa menyelip parkir di antara kendaraan yang parkir. Keren kan.

Proses administrasi yang tidak terlalu lama mengizinkan kami untuk bersiap memulai pendakian. Sekitar pukul 01.30 WIB, kami memulai pendakian dari posko yang sebelumnya telah kami awali dengan doa agar selamat sampai tujuan dan kembali ke posko awal dengan selamat. Untuk mendaki,
akomodasi untuk tiket masuk dan parkir ditotalkan Rp 17.000/orang. Lalu persiapan lainnya adalah persiapan standar pendakian pada umumnya. 

Pendakian perdana ini saya awali dengan niat dan tekad kuat. Bayangkan, saya mendaki dengan cepat tanpa rasa lelah. *ajielah bukan bangga* Memang ini pendakian pertama, namun tak ada alasan untuk manja bukan? Itulah yang ada di benak saya. Maka dari itu, untuk pendakian kali ini sayalah yang memimpin perjalanan. Dengan modal senter hp alakadarnya, saya menuntun teman-teman guna melakukan pendakian. Memang ada profesional, namun beliau mengawasi dari belakang karena takut ada yang tertinggal atau tersasar.

Sepanjang perjalanan, kami banyak bertemu dengan pendaki yang mendirikan camp di sana-sini. Memang hari sudah larut, dan kami mulai lelah satu persatu, namun semangat kami tidak mudah pudar. Di sepanjang perjalanan, banyak hal unik yang saya pelajari. Salah satunya adalah, jika seorang pendaki berpapasan dengan pendaki lain yang kebetulan berlainan arah atau sedang mendirikan camp, adalah sebuah keharusan bagi kita untuk menyapa "misi pak, buk" "semangat pak! buk!" dan sapaan lainnya. Intinya berapapun umur pendaki yang bertemu, mau itu muda, tua, panggilan kebanggaan ya itu, "pak" "buk". Tidak ada "abang" "uda" "kakak" "adik" di sini. Semuanya setara. Dikatakan sebagai orang dewasa yang berani.

Perjalanan dan pendakian pada malam hari memang tidak mudah. Ada saja rintangan yang harus kami hadapi. Mulai dari jalanan licin karena hujan tadi sore, cahaya yang kurang memadai, semak yang mengganggu di jalur pendakian, hingga keletihan dari beberapa anggota yang mulai berdatangan. Maka dari itu, di kilometer 3 jalur pendakian, kami berinisiatif untuk mendirikan camp guna melakukan istirahat dan makan. Saat itu sekitar pukul 03.30 WIB. Ah, rehat sejenak guna menabung energi untuk melanjutkan pendakian.



Foto Bedi Septia Candra

Pagi menghampiri kami pendaki amatir. 07.50 adalah waktu bagi beberapa orang di antara kami untuk terjaga guna mempersiapkan makanan untuk mengisi energi anggota team kami. Saat itu, kami membagi menjadi beberapa team. Team 1 yang bertugas memasak nasi dan lauk di camp, ada pula yang bertugas mencari pasokan air yang berada di sekita camp. Kebetulan, saya bertugas untuk melakukan pencarian pasokan air bersih bersama zikra, anggota team kami dan seorang pendaki pro camp sebelah.

Perjalanan mencari sumber air bukan merupakan hal mudah. Medan yang terjal dan bertanah humus -relatif lebih mudah longsor-, serta lingkungan pohon dan tanaman yang kadangkala berduri adalah tantangan yang harus kami hadapi. Ditambah sumber air yang dituju terletak di dalam lembah, bah ini merupakan tantangan. Setelah mendapat sumber air yang dituju, masalah lain adalah ketika kami hendak kembali ke camp. Susahnya minta ampun. Semak berduri dan tanah mudah longsor adalah tantangan yang kami hadapi kembali. Semangat.

Akhirnya pagi itu kami makan dengan lahap, dengan lauk seadanya. Porsi sederhana, dan minum yang tidak seberapa. Kami masih bersyukur, karena dengan ini kami mengisi ulang energi guna melakukan pendakian.



Foto Bedi Septia Candra


Foto Muhammad Zikra


09.00 WIB pagi, kami memulai kembali pendakian menuju camp cadas. Lokasi yang berjarak sekitar 3 jam dari lokasi camp kami. Yosh, lompat aja kali ya. Karena medan pendakian yang sudah ada sama kondisinya, namun tantangan terberat kami pada saat melakukan pendakian adalah Hujan. Ya, hujan mengiringi pendakian kami menuju puncak. Karena semangat yang membara, kami tetap bersemangat guna melakukan pendakian. Hingga kami tiba di camp cadas sekitar pukul 12.04 siang. Kami langsung mendirikan camp, dan memasak makanan serta mencari pasokan air. Alhamdulillah, pendakian ini semakin dekat menuju puncak. 







Foto Rizki Nofriadi


Foto Bedi Septia Candra


Foto Bedi Septia Candra



Foto Bedi Septia Candra

Sekitar pukul 13.25 kami memulai kembali pendakian menuju puncak melewati pegunungan cadas yang terjal. Pendakian yang sudah ditemani cuaca cerah ini kami jalani dengan semangat seraya berharap kami mendapat pemandangan kota bukittinggi dan sekitarnya, padang panjang, tanah datar hingga lautan dari atas puncak. Namun, pendakian ini diwarnai rasa kecewa karena pemandangan yang kami inginkan tak kunjung tiba karena puncak yang tertutpi oleh kabut dan awan. Ah, syukuri saja. Toh, di atas sana kami masih mendapatkan pemandangan awan comulinumbus yang langka. 

Lokasi favorit saya yaitu kawah lama puncak Marapi ini. Ya, di kawasan kawah yang mulai kering namun masih panas ini terdapat bendera yang berkibar gagah di tiang kokoh. Di sini lah saya mengheningkan cipta dan bersyukur atas perjalanan ini, seraya menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia raya.



Foto Bedi Septia Candra


Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku.
Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku.
Marilah kita berseru, Indonesia bersatu. 
Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku.
Bangsaku, rakyatku, semuanya.
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.
Untuk Indonesia raya. 
Indonesia raya, merdeka, merdeka.Tanahku, negeriku, yang ku cinta.Indonesia raya, merdeka, merdeka.Hiduplah Indonesia raya.
Indonesia raya, merdeka, merdeka.Tanahku, negeriku, yang ku cinta.Indonesia raya, merdeka, merdeka.Hiduplah Indonesia raya.

Gimana? Keren kan. Dan masih banyak spot bagus lainnya. Sebut saja, puncak merpati, taman edelweis, dan kawah marapi yang aktif dengan belerang dan magma yang terkubur jauh di dalamnya. Pokoknya beh, Keren!! Aaaaaaaaaaaaaaah, saya berteriak senang ketika badan ini menapaki puncak merpati yang legendaris, indah, keren!! Norak ya? Emang. Hahah

Tugu Alm. Abel Tasman
Foto Bedi Septia Candra


Kawah Gunuang Marapi
Foto Bedi Septia Candra

Kami melanjutkan perjalanan untuk menuruni gunung pada pukul 17.23 menuju kaki gunung. Turun gunung kembali ke posko awal pendakian. Tentunya setelah kami mengemasi barang bawaan kami di camp cadas. Membongkar tenda dan membersihkan sekitar tenda. Sip, perjalanan ini tidak mudah. Karena menurun lebih susah daripada mendaki. Benar saja, pendakian yang dilakukan hingga malam hari ini diwarnai oleh kekalutan karena asupan energi minimal, penerangan yang ala kadarnya, serta pasokan air minum yang terbatas. Semangat hingga pukul 22.00 kami berhasil mencapai titik awal pendakian, posko pasanggrahan. Yoooooo, berhasiiiil.!!!


Pak! Buk! Kami adalah anak negeri yang mempunyai mimpi. 

Mimpi kami banyak. Bukan hanya mendaki atap Minangkabau ini, banyak. Namun ini adalah awal bagi langkah besar kami dalam berjuang. Melalui pendakian ini kami belajar bahwa hal indah tak serta merta datang menghampiri, pasti diawali perjuangan keras sebelumnya. Melalui pendakian ini kami belajar bahwa sejatinya hidup yang berarti itu bukan terletak pada harta kekayaan, namun kesederhaan yang membahagiakan itu lebih bisa dikatakan hidup yang sebenarnya. Melalui pendakian ini kami belajar bahwa dalam hidup tak mungkin seorang bodoh hidup sendiri, untuk itulah kami belajar pintar dengan bergaul dan menghormati orang lain.

Pak! Buk! Kami adalah anak negeri sederhana.

Mungkin tidak sopan bagi kami karena tanpa meminta izin kepada kalian atas pendakian ini. Maafkan kami. Melalui cara inilah kami mensyukuri kesehatan dan karunia Tuhan. Melalui cara inilah kami belajar mandiri dan sederhana. Terima kasih karena telah melahirkan anak-anak yang kuat dan berani ini.





-
-
-
-
-
-
-
-
-
Perkenalkan, kami pendaki berani bermodalkan nekad dan tekad kuat.



Bedi Septia Candra



Muhammad Habib



Muhammad Fakhrul Reza



Muhammad Hanif



Muhammad Zikra



Rizki Rahim


Rizki Nofriadi



Suryanto

, dari ketinggian +2891 mdpl.
Gunuang Marapi. Sumatera Barat.
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4 komentar:

  1. Tulisannya nyuruh mendaki nip.. -_-

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwk monggo atuh kak hones. ayuk mendaki gunung. hattori aja pernah loh ngedaki gunung. sering. tiap minggu [ketika kita masih kecil dulu] wek :3

      Hapus
    2. Ah, ntar ada waktunya nip.. haha :P
      Hha ya kali kita bisa jadi hattori nip.. haha :P asik jga tu :D

      Hapus
    3. yaaa kan bisa aja. wkwkwk bisa dong kakak ikut ngedaki sama kami rombongan caang besok ni. gimana?

      Hapus